Digimon Adventure
Chapter - Musim Panas Itu
Chapter - Musim Panas Itu
“Apa kau baik-baik saja?” Taichi
Yagami bertanya pada adik perempuannya, Hikari, sambil mengoleskan gel
pendingin di dahi adiknya itu. Gadis yang malang itu menggigil di bawah selimut
karena demam.
Dengan senyum terbaik yang bisa ia
tunjukkan, Hikari berkata, “Ya.”
“Syukurlah,” ucap Taichi, namun di
dalam hati, ia marah terhadap dirinya sendiri. Ia sekarang sadar bahwa sejak
kemarin, Hikari telah menunjukkan tanda-tanda demam, tapi karena saat itu ia
belum menyadari apa arti dari tanda-tanda itu, ia mengajak Hikari untuk pergi
berbelanja bersama dan membeli barang-barang yang akan mereka bawa ketika
mereka mengikuti acara perkemahan yang dimulai hari ini (sekalipun yang mereka
beli hanyalah permen, permen, dan permen yang sangat banyak).
Taichi Yagami
Dia sudah berpikir bahwa saat itu Hikari sedikit bertingkah aneh, tapi
ia tak menduga bahwa tingkah aneh adiknya itu disebabkan oleh demam…
Semua itu pasti bermula ketika
kemarin pagi mereka berdua melihat televisi bersama-sama. Pada waktu itu, ada
siaran berita yang melaporkan adanya cuaca yang tak normal terjadi di seluruh
dunia. Sekalipun seharusnya musim saat ini adalah musim panas, Amerika tertutup
oleh salju yang lebat, sedangkan hujan deras membanjiri daerah Timur Tengah.
Sebaliknya, rawa-rawa di Asia Tenggara malah kering hingga ke akar-akarnya.
Peramal cuaca mengatakan bahwa itu semua terjadi karena rusaknya alam yang
diakibatkan oleh manusia, namun Hikari berkata,
“Dia salah.”
“Eh?” Taichi, yang sedang mengisi
mulutnya dengan roti bakar berisi telur, tomat, dan daging, menatap Hikari
dengan bingung.
Pandangan Hikari tampak fokus secara
penuh ke layar televisi, yang mana menurut Taichi tak ada satupun pemandangan
yang aneh di dalamnya. Layaknya orang yang sedang melamun, Hikari mengucapkan satu
kata yang terdengar asing, dengan suara pelan.
“Digi…mon.”
“Digimon? Apa itu?” Taichi bertanya
sambil mengangkat alisnya.
Kali ini, Hikari memalingkan
pandangannya dari televisi dan ganti menatap kakaknya dengan heran.
Hikari
“Kakak tak bisa melihatnya?” Hikari
bertanya balik.
“Lihat apa…?” Taichi mengamati layar
televisi. “Aku tak melihat apapun.”
“Oh… tidak ada apa-apa kok. Jangan
dipikirin,” Hikari tersenyum, sebelum ia kembali memalingkan pandangannya ke
arah televisi lagi. Ketika Taichi mengamati ekspresi wajah adiknya, bulu mata
Hikari yang panjang, membuatnya terlihat sedih di mata Taichi.
Mungkin dia mulai terkena demam pada
saat itu, Taichi menyadarinya sekarang. Jika ia memeriksa dahi adiknya pada
waktu itu, dan membiarkannya istirahat, demamnya mungkin bisa dicegah dengan
mudah dari awal. Hikari juga sangat menantikan acara perkemahan yang diadakan
hari ini, sama seperti Taichi…
***
Di depan beberapa bis yang berbaris
sebelum berangkat, anak-anak berkumpul ke dalam grup mereka masing-masing
sambil ngobrol terus-terusan tentang anime yang mereka lihat kemarin, video
game yang baru dirilis, lanjutan cerita manga mingguan, atau tentang hubungan
romantic antara dua artis populer yang belakangan ini dibicarakan oleh berbagai
khalayak berkat penampilan apik mereka di majalah bergambar mingguan.
Yamato Ishida
Tapi Yamato Ishida tak ikut terlibat
dalam grup-grup seperti itu.
Bukan karena dia tak punya teman.
Faktanya, banyak teman sekelasnya menyapanya secara akrab dengan “Yo!” atau
“Hei~!” ketika mereka berpapasan dengannya, dan tentunya, Yamato akan merespon
mereka dengan tersenyum.
Seorang anak laki-laki kecil yang
mengenakan topi hijau dan kaos berlengan panjang, yang warnanya sana dengan
T-shirt tanpa lengan yang dikenakan Yamato, berdiri tepat disamping Yamato.
Sekalipun ada banyak orang yang menyapa dan berbicara dengan Yamato, tak ada
satupun dari mereka yang berbicara dengan anak kecil itu, dan anak kecil itu
sendiri tak pernah melambaikan tangannya untuk menyapa orang lain. Anak itu
hanya diam berdiri di samping Yamato sambil melihat-lihat sekeliling, sambil
tersenyum lebar.
Situasi seperti itu memang wajar,
karena anak kecil itu bukanlah bagian dari sekolah ini, dan jelas, ia tak kenal
dengan satupun murid disini. Dia adalah adik Yamato, Takeru Takeishi. Alasan
kenapa mereka memiliki nama keluarga yang berbeda adalah karena keduanya
sekarang hidup terpisah, setelah orang tua mereka bercerai. Takeru diijinkan
untuk ikut berpartisipasi dalam acara perkemahan sekolah tempat Yamato belajar,
setelah menerima ijin dari Fujiyama-sensei, guru yang bertugas untuk mengatur
acara.
(sensei = guru)
Takeru sendiri sebenarnya tak tampak
khawatir, namun Yamato diam-diam merasa cemas, ia takut adiknya tak bisa
bergaul dengan anak-anak lainnya. Ia pikir akan lebih baik bila Takeru tak ikut
pergi dengannya.
Semua ini dimulai di minggu pertama di
bulan Juli, tepat sebelum liburan musim panas dimulai.
Karena orang tua mereka menyetujui
hak kunjungan setelah perceraian mereka tuntas, Takeru datang untuk menginap di
apartemen tempat Yamato (dan ayahnya) tinggal. Pada saat itu, mata Takeru yang
tajam melihat tanggal 1 Agustus di kalender diberi lingkaran merah. Ketika ayah
mereka memberi tahu bahwa hari itu adalah hari dimana sekolah Yamato akan
mengadakan acara perkemahan, Takeru berteriak bahwa dia juga ingin
mengikutinya.
Ayah mereka pasti juga merasa cemas,
sama seperti yang dialami Yamato sekarang. Masalahnya juga bertambah karena itu
artinya ia harus menghubungi mantan istrinya dan meyakinkannya agar menyetujui
keikutsertaan Takeru dalam acara perkemahan. Tentu saja, sekalipun ia
terang-terangan berkata bahwa itu adalah hal yang merepotkan, ekspresi yang
tampak di wajah ayah mereka tak menunjukkan itu sama sekali.
Sehari sebelum perkemahan dimulai,
yaitu kemarin, Yamato pergi ke tempat tinggal ibunya di Sangenjaya untuk
menjemput Takeru.
“Kamu harus datang kesini sendirian
untuk bermain lebih sering, Yamato,” ucap si ibu sedikit canggung terhadap
putra pertamanya, selagi ia mengisi tas punggung Takeru dengan jajanan yang
banyak, saking banyaknya sampai-sampai tas itu terlihat akan meledak.
“Ya.”
Bahkan Yamato sendiri berpikir bahwa
jawaban yang ia lontarkan terdengar dingin.
“Harus lho,” jawab si ibu dengan
tersenyum, sekalipun senyuman itu tampak dipaksakan. Ia sudah tahu, bahkan
sebelum percakapan mereka dimulai, bahwa Yamato tak akan pernah mau berkunjung
dengan kemauannya sendiri. Sadar akan kepribadian Yamato yang serius, ia tak
ragu bahwa Yamato sendiri mungkin menganggap ajakan sepele itu setara dengan
mengkhianati ayahnya.
Takeru Takeishi
“Oke, Mama, aku berangkat sekarang!”
Setelah selesai mengatur isi tas
Takeru, si ibu mengantar Takeru hingga ke halaman masuk apartemen.
“Takeru, jangan nyusahin kakakmu
terlalu banyak, ya?”
Kata-katanya terdengar seperti ia
tengah menyerahkan anak semata wayangnya ke tangan orang asing. Tentu saja, tak
ada niat buruk dibalik kalimat tersebut.
Tapi Yamato tak bisa menahan untuk
bergumam, “Tak masalah kalau Takeru bikin aku repot. Toh kami berdua saudara.”
-----------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar