Minggu, 22 Juni 2014

DA Chapter 3


Digimon Adventure

Chapter - Sisi Lain Aurora

*chapter ini mulai nyenggol episode pertama anime
buat yang pernah nonton pasti tau lah ._.v

Selama perjalanan di dalam bis, Mimi Tachikawa benar-benar asyik bergosip dengan teman-temannya, Taako dan Mi-chan, sampai-sampai ia tak pernah sekalipun menoleh ke pemandangan yang berubah-ubah di luar jendela bis. Toh dari awal dia juga tidak berminat untuk melihat-lihat. Jika kau nanti bertanya padanya landmark apa yang dilalui bis ketika menuju ke tempat perkemahan mereka di Lembah Mikami, dia pasti akan menjawab kalau dia tidak tahu sama sekali.

Mimi Tachikawa

“Oke, kita sampai!” Suara Fujiyama-sensei yang lantang sangat berguna baginya ketika upacara sekolah di pagi hari, karena suaranya bisa terdengar sampai di barisan paling belakang tanpa bantuan mikrofon. Tapi, di dalam bis yang sempit, suara itu membuat telinga para murid berdenging.

“Kelompok kalian masing-masing sudah tercantum dalam selembaran yang aku berikan sebelum kita berangkat. Ketua kalian akan mengenakan ikat lengan yang bertuliskan nama mereka, jadi temukan mereka dengan cara mengamati murid yang memakai ikat lengan, dan berkumpullah dengan kelompok kalian. Setelah itu, dengarkan apa yang dikatakan ketua kalian. Sekian.”

Mimi membaca selebaran resmi yang ada di tangannya. Di ujung kertas ada kalimat dari tulisan tangan, “Kelompok Kido (Ketua: Kelas 6, Jyou Kido)”

“Hey, apa kau tahu siapa itu Kido?” Mimi bertanya pada Taako, yang duduk disampingnya. Selembaran milik Taako bertuliskan “Kelompok Arihara”.

“Kido-san itu…” Melihat ke luar jendela, tak lama bagi Taako untuk menemukan orang yang ia cari, “Di sana!”

Jyou Kido

Cowok yang ia tunjuk kelihatan berpakaian secara rapi, mengenakan kaos dengan kerah terbuka, dan ditambah jaket bergaya Ivy League (universitas di US). Selain mengenakan kacamata dan ikat lengan tanda seorang ketua kelompok,pundaknya terbebani oleh tas berbentuk kotak dengan label “Persediaan Makanan Darurat.” Mungkin karena ia juga merasakan tanggung jawab yang besar sebagai ketua kelompok, wajahnya tampak kaku.

“Hmm… Dia kelihatannya kurang bisa diandalkan…” gumam Mimi, tapi pikirannya terpotong oleh Mi-chan, yang mengajak mereka melihat ke suatu arah dengan buru-buru, sambil berkata, “Lihat, lihat!”

Koushiro Izumi

Mi-chan menunjuk ke bagian depan bis, dimana ada seorang anak laki-laki yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna oranye, hendak turun dari bis. Bahkan Mimi pun tahu siapa anak laki-laki itu. Mereka memang hampir tak pernah berbicara satu sama lain, tapi anak laki-laki itu adalah teman sekelas Mimi, Koushiro Izumi. Mi-chan ingin mereka melihat apa yang dibawa Koushiro di punggungnya – sebuah laptop wireless.

“Aneh banget ya dia, bawa-bawa barang begitu ke acara perkemahan?” Mi-chan tertawa sambil mengejek Koushiro, tapi Mimi tak ikut-ikutan tertawa. Karena ia tak punya alasan untuk menertawai teman sekelasnya.

***

“Hey, Sora!”

Setelah meletakkan ember kosong yang ia angkat dengan kedua tangannya, Sora menghentikan langkahnya di atas tangga batu yang mengarah ke tempat persediaan air, untuk melihat orang yang memanggilnya. Orang itu adalah Kenji, yang menjuluki dirinya sendiri sebagai “Akita dari Odaiba,” yang bermain sebagai bek di tim sepak bola Sora.

(“Akita dari Odaiba” adalah referensi terhadap Akita Yutaka, seorang pemain sepak bola yang dianggap sebagai salah satu bek terbaik di generasinya)

Sora Takenouchi

“Ada apa?” tanya Sora
“Apa kau tahu Taichi ada dimana? Aku tak bisa menemukannya dimanapun aku mencari.”
“Tak tahu,” jawab Sora dengan lugas. “Aku dan Taichi memiliki kelompok yang berbeda, jadi tentu saja aku tak akan tahu dimana dia berada.”
“Oh,” Kenji mengangguk tanda mengerti, namun ia diam-diam menggerutu sembari ia lanjut menaiki tangga. Karena koordinasi yang ditunjukkan Taichi dan Sora dalam permainan sepak bola sangatlah hebat, dia pasti salah berpikir kalau keduanya berbagi ikatan telepati. Mungkin ia berpikir bahwa Sora akan menggunakan telepatinya untuk memanggil Taichi, agar Taichi bisa langsung datang entah darimanapun ia berada untuk menemui Kenji.

Ketika ia sampai di tempat persediaan air, Sora menyalakan keran air untuk mengisi dua ember yang ia bawa. Di dekat situ ada aliran sungai kecil, namun demi kebersihan dan kesehatan para murid, di atas selebaran resmi yang masing-masing dimiliki oleh para murid dijelaskan (dengan huruf tebal dan garis bawah) bahwa murid harus menggunakan air dari tempat persediaan air untuk memasak.

Setelah kedua ember terisi penuh, Sora mengangkat masing-masing ember dengan kedua tangannya dan kembali menaiki tangga bebatuan. Berat dari ember yang ia bawa membuatnya merasa bahwa kedua tangannya bakal putus karena tak kuat menahan beban.

Biasanya tugas seperti ini akan diserahkan pada murid laki-laki, sedangkan murid perempuan akan ditugaskan untuk pekerjaan yang lebih mudah (seperti memotong sayuran, atau bergosip selagi mengumpulkan kayu bakar). Namun, Sora tak menyukai hal-hal seperti itu. Sebagai gadis yang sehari-harinya tak pernah mengenakan rok bila tak ada hal yang benar-benar memaksanya untuk melakukan itu, Sora secara pribadi dan dengan terang-terangan menyatakan tak ingin dianggap sebagai perempuan yang lemah. Sifat maskulin yang ia miliki itu bertambah jelas dan kuat ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan klub sepak bola laki-laki.

Keringat mulai muncul di dahi Sora, dan ia meletakkan kedua ember yang ia bawa ke tanah untuk mengusap keringat itu dengan tangannya. Merasa terganggu dengan rambut yang terus bergelantungan di depan kedua matanya, Sora melepas topi yang ia pakai untuk menata rambutnya yang tampak kacau. Setelah bebas dari kurungannya (topi), rambut pendek Sora berdiri ke segala sisi.

Setelah membereskan rambutnya ke posisi yang pas, Sora berkata, “Baiklah.”

Kedua ember yang tadinya ia letakkan kembali berada dalam genggamannya, dan ketika Sora hendak melanjutkan perjalanannya, ia melihat Taichi yang sedang tiduran di atas ranting pohon yang tebal, dengan kedua tangannya ia gunakan sebagai bantal. “Taichi, apa yang kau lakukan?”



Tanpa menggerakkan postur tubuh sedikitpun, Taichi hanya sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Sora berada.

“Gak ngapa-ngapain,” jawabnya malas.

Bahkan ketika Sora berkata, “Tadi Kenji mencarimu,”

“Oh, oke,” hanya itu jawaban yang ia lontarkan.

Menyimpulkan bahwa Taichi sedang bermalas-malasan dan menghindari tugas yang diberikan padanya, Sora mengerti bahwa apapun yang ia katakan tak akan memberi banyak pengaruh. Karena itu, ia memilih untuk bertanya pada Taichi tentang sesuatu yang terus mengganggunya sejak mereka sampai kemari.

“Omong-omong, aku belum melihat Hikari-chan sama sekali.” Sora mendengar dari Hikari sendiri bahwa ia sangat menantikan acara perkemahan ini.

“Ya… dia sakit demam.”

“Demam musim panas?” Tanya Sora simpatik.

“Mungkin.”
“Oh gitu. Sayang sekali.”

“Ya…” Taichi terdiam sedih ketika ia menyadari ada sesuatu berwarna putih yang melayang turun tepat dihadapan kedua matanya.



Apa itu? Pikirnya, sembari mengulurkan tangannya ke arah benda putih itu. Merasa ada rasa dingin yang menggelikan di tangannya, Taichi menarik kembali tangannya, dan melihat ada setetes air di atas kulitnya. Memang susah dipercaya, tapi ternyata benda putih itu adalah salju.

“Hey, hujan salju turun.” Taichi memanggil Sora yang ada di bawahnya, tapi Sora juga sudah mengetahuinya. Hembusan angin yang lumayan kencang menyebabkan butiran-butiran salju berputar-putar secara liar di belakang Taichi, dan Sora menyadari hal itu.

“Sepertinya akan ada badai salju,” Sora berteriak pada Taichi. “Ayo cepat kembali ke tempat yang lain berada!”

***

“Aku tak bisa mempercayainya.”

Menatap keluar jendela kuil kecil tempat dimana ia menyendiri, Koushiro Izumi menggumam dengan penuh kagum.  Badai salju yang tiba-tiba muncul telah menutupi seluruh pemandangan musim panas yang penuh dengan kehijauan dengan putihnya salju, dalam sekejap mata.



“Ini pasti gara-gara cuaca tak normal yang sedang marak belakangan ini.”

Pasrah akan fakta bahwa ia tak akan bisa meninggalkan kuil itu untuk sementara waktu, Koushiro mengeluarkan laptop berwarna kuning nanas miliknya, kemudian meletakkan laptop itu ke atas pangkuannya. Sembari menunggu booting selesai, ia menyambungkan laptop itu dengan handphone miliknya.

Laptop itu selesai dinyalakan. Aksi-aksi yang dilakukan Koushiro menunjukkan bahwa dirinya sudah terbiasa melakukan hal seperti ini. Ia mendobel klik ikon browser internet dan mencoba untuk terhubung dengan situs pencarian raksasa yang sudah ia simpan sebelumnya. Ia ingin memeriksa situs tentang ramalan cuaca terbaru.



Suara dari modem dan handphone yang mencoba untuk terhubung dengan internet bisa terdengar dalam kesunyian. Namun, suara yang menunjukkan bahwa ia telah sukses terhubung dengan internet tak kunjung muncul.

“Badai salju ini pasti mengacaukan sinyalnya.”

Namun ia tak ingin menyerah. Saat ia hendak mencoba menghubungkan laptopnya dengan internet sekali lagi, tiba-tiba pintu geser kuil terbuka, dan dua anak laki-laki yang masing-masing kepalanya dilapisi oleh salju masuk.

Tanpa sadar akan apa yang tengah ia lakukan, Koushiro pasti melotot ke arah dua penyusup yang tak diundang itu, gara-gara mereka masuk tanpa mengetuk pintu dan tanpa melepas sepatu mereka. Anak laki-laki yang lebih tinggi, dan jelas lebih tua dari yang satunya, meminta maaf.

“Maaf.” Anak itu adalah Yamato. “Bolehkah kami istirahat disini sampai saljunya berhenti?”

“Tak masalah,” jawab Koushiro dengan sopan, sambil merasa sedikit gugup karena telah melotot ke arah mereka.

“Terima kasih,” ucap Yamato, sebelum ia berbalik untuk membersihkan salju yang menutupi topi dan pakaian Takeru.

Karena salju yang tak kunjung berhenti turun, tanpa adanya tanda-tanda akan berhenti, anak –anak lain pun mendatangi kuil itu untuk berteduh.

Anak laki-laki yang paling tua, mengenakan ikat lengan tanda ketua kelompok, Jyou Kido.

Teman sekelas Koushiro, Mimi Tachikawa.

Sora Takenouchi.

Dan, seseorang yang hanya dikenal Koushiro melalui klub sekolah yang mereka ikuti bersama, Taichi Yagami.

Pada saat itu, tak satupun dari mereka membayangkan bahwa tujuh orang yang berkumpul disini akan terlibat dalam petualangan yang sangat, sangat panjang.

***

Badai salju perlahan mereda.

Ketika mereka keluar dari kuil, anak-anak itu tak bisa menahan rasa bingung mereka, selagi mengamati pemandangan yang ditutupi oleh salju, yang jelas tidak cocok dengan birunya langit musim panas.



“Yay!” Dengan penuh gembira, Takeru melompat ke salju dan meraup beberapa salju agar bisa membentuknya seperti bola. “Hey, kakak. Kita bisa main pertempuran bola salju!”

“A… boleh juga,” ucap Yamato dengan penuh sayang, sambil mengamati adiknya yang lucu itu. Disampingnya, terdengar suara orang bertanya.

“Apa yang terjadi disini?” Tanya Taichi. Pertanyaan itu tak ditujukan pada seseorang secara khusus. Taichi memang punya kebiasaan mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya.

Tanpa menyadari itu, Jyou mendongakkan kepalanya untuk menatap langit. Sambil mengangkat kepalanya, ia menjelaskan, “Kemungkinan salju ini disebabkan oleh massa udara dingin di langit. Mungkin udara dingin itu berasal dari Amerika.”

“Hmm,” ucap Mimi, terdengar kagum. “Kau pasti sangat pintar, Jyou-senpai.”

“Oh, nggak juga,” jawab Jyou dengan sopan, sekalipun wajahnya menunjukkan rasa bangga akan pengetahuannya itu. Melihat Jyou, Taichi merasa bahwa mereka tak akan bisa berteman dengan baik. Kulit Jyou sangatlah pucat, sekalipun sekarang adalah pertengahan musim panas. Dia pasti terlalu asyik mengikuti les di luar sekolah, sampai-sampai tak pernah sekalipun pergi ke kolam renang sepanjang musim panas ini.

“Omong-omong, Jyou,” ucap Yamato. Alasan mengapa Yamato tak menambahkan honorifik ketika memanggil Jyou adalah karena ia mengira mereka memiliki kelas yang sama. “Apa badai saljunya sudah berlalu?”

“Sudah. Kau lihat sendiri kan, tak ada satu awanpun di langit? Tak peduli sedingin apa temperatur di bawah, salju tak akan bisa turun kalau tak ada awan. Itu akal sehat.” Jyou menjelaskan dengan sombong, sebelum ia menyadari itu. “Ah… um, bukan maksutku kalian tak punya akal sehat. Jangan salah paham.”

Alasannya terdengar lemah, dan ia tahu itu. Melihat Yamato mengernyitkan dahinya sesaat dengan ekspresi kesal, Jyou sadar ia telah membuat kesalahan.

“Hey, omong-omong,” ucap Takeru, yang sedang membangun manusia salju. Ia berhenti menepuk-nepuk salju dan menunjuk ke arah langit. “Apa itu? Itu bukan awan, kan?”

Semua orang melihat ke atas.



Sebuah tirai raksasa yang transparan, dan memancarkan cahaya seperti gelembung-gelembung sabun, berkibar dengan halus di atas mereka.

“Apa itu… sebuah aurora?” Tanya Sora,  pandangannya penuh rasa ketidakpercayaan. “Tapi, bisa melihat aurora di jepang itu benar-benar…”

Tiba-tiba, sesuatu yang mengejutkan terjadi, pemandangan misterius yang menarik perhatian semua orang muncul. Tepat pada saat itu, di dalam aurora, ada sesuatu yang berkilauan. Kilauan itu tak hanya datang dari satu sumber, namun ada beberapa obyek yang tampak berkilau.



Berpikir bahwa apa yang ia lihat hanyalah ilusi, Taichi menutup dan membuka kembali matanya. Cahaya itu masih ada di sana. Mereka tak lagi berkedip-kedip, tapi malah bertambah terang. Tak membutuhkan waktu lama sebelum Taichi menyadari bahwa cahaya itu bertambah terang karena obyek-obyek itu makin mendekat ke arah mereka.

“Ada sesuatu yang datang!”

Sora dan Yamato juga menyadarinya. “Mereka adalah bola-bola cahaya! Apa mereka meteorit?”

Bahkan Mimi dan Jyou, dengan penglihatan yang kurang bagus, bisa segera melihat dengan jelas obyek-obyek yang memancarkan cahaya itu semakin dekat. Total ada tujuh bola cahaya yang mendekati mereka.



“Awas!”

Semua orang melompat untuk menghindar. Yamato melompat ke arah Takeru untuk melindunginya.

BANG!

Dampak dari benturan itu menyebabkan pilar salju setinggi 2 meter muncul. Bisa dibayangkan kekuatan sebesar apa yang mampu menyebabkan hal seperti itu terjadi. Untungnya, tak ada satupun anak-anak yang terluka.

“Tadi itu ngeri,” ucap Mimi sambil berdiri. Namun, wajah Mimi, tak sepucat wajah Jyou, yang berdiri tepat disampingnya. Faktanya, Mimi malah terlihat sedikit terhibur, layaknya insiden barusan hanyalah hiburan semata.

“Benda apa itu?” Didorong rasa penasaran, Koushiro berlari mendekati tempat dimana pilar salju muncul. Benda-benda misterius yang jatuh itu terkubur jauh di dalam tanah, dan menciptakan lubang-lubang di permukaan salju di atasnya.

Koushiro yang hendak menggali salah satu lubang dengan tangannya, berteriak “Hyah!”, dan dengan cepat menarik kedua tangannya.

“A-apa itu?!” Tanya Taichi, suaranya terdengar histeris.



Tujuh benda tak dikenal, yang memancarkan cahaya selembut penutup kepala pengantin wanita, terbang sendiri-sendiri ke arah setiap tangan anak-anak.

“Ini…”



Benda itu adalah alat yang mirip seperti pager. Di permukaan benda itu, terlihat partikel-partikel cahaya yang menciptakan warna yang samar-samar.

Ketujuh benda itu mulai mengeluarkan bunyi tanpa henti.

Saat itu terjadi, aurora yang ada di atas mereka mulai bergoyang-goyang dengan keras, seperti sebuah tirai yang dihempaskan angin yang sangat kuat.

“Apa aurora itu bertingkah aneh karena gelombang elektromagnetik?” gumam Koushiro, tapi ia sendiri pun tahu bahwa teorinya tak memiliki dasar yang jelas.

Aurora itu bergoyang makin agresif, layaknya ingin memisahkan diri dari langit dan terbang bebas entah kemana. Permukaan langit pun mulai memancarkan sinar yang terang.

Pada waktu yang sama, sesuatu yang mustahil terjadi.



Meskipun anak-anak itu sedang berada di gunung yang tinggi, jauh lebih tinggi dari permukaan air laut, muncul gelombang air yang mengarah ke langit secara vertikal, dan menunjukkan permukaannya yang halus. Bagian tengah gelombang air itu tiba-tiba terbelah, dan sekarang tampak seperti sebuah lubang yang di apit oleh dua air terjun. Dengan suara gemuruh yang keras, lubang itu menyedot udara yang ada di sekitarnya.

Dan kemudian…

“Uwaaaaaaaaah!”



Dihadapkan dengan kekuatan alam yang tak bisa mereka lawan, ketujuh anak itu tersedot masuk ke dalam pusat gelombang air…

-------------------

*Chapter Selanjutnya : Klik Disini
Chapter Sebelumnya : Klik Disini
enaknya begini dengerin ni lagu dibawah ._.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar