Digimon Adventure
Chapter – Hewan Misterius
Mereka sudah
menunggu untuk waktu yang sangat, sangat lama, hanya untuk bertemu partner mereka.
Sudah sangat lama sejak mereka pertama kali bisa mengingat akan
sesuatu. Mereka bisa mengingat
banyaknya gletser yang menutupi permukaan tanah, meskipun sekarang gletser itu
telah tiada untuk waktu yang lama. Mereka
juga bisa mengingat kapan tumbuh-tumbuhan pertama kali muncul di tanah yang
tandus, hingga tumbuh dengan lebat di lingkungan yang sekarang mereka huni.
Sekalipun tak ada yang mengajari, mereka mengerti bagaimana cara
berbicara. Mereka bahkan tahu siapa
nama mereka masing-masing, dan siapa
yang sedang mereka tunggu. Namun,
yang tak mereka ketahui adalah, untuk
alasan apa mereka menunggu?
Meski begitu, mereka tetap sabar menunggu.
Yakin bahwa partner mereka akan muncul dari langit, hari
demi hari mereka lalui dengan terus
menatap langit, sambil memanggil nama tiap-tiap partner mereka.
Salah satu dari mereka berkata “Taichi!”
Ada juga yang berteriak, “Yamato!”
Dan yang lainnya juga ikut
berteriak, “Sora!”, “Jyou!”, “Koushiro-han!”, “Mimi!”, “Takeru!”… …
Pada suatu hari, salah satu dari mereka yang sedang menunggu “Takeru”
melihat ada aurora di langit.
“Semuanya, lihat!”
Mereka semua
melihat ke atas.
Mengetahui di dalam batin bahwa
waktu yang dijanjikan telah tiba, tiap-tiap dari mereka terdiam sambil menahan nafas. Beberapa dari mereka bahkan sampai meneteskan air
mata, karena tak bisa menahan emosi yang meluap-luap.
Langit mengeluarkan cahaya yang
sangat terang untuk sesaat, kemudian mereka
mendengar teriakan yang berasal dari jauh.
“Uwaaaaaaaaaah!”
Yang muncul menemani teriakan
ketakutan itu adalah tujuh anak-anak, yang bisa mereka lihat sedang berpegangan dengan satu sama lain, ketika
anak-anak itu jatuh dari langit.
“TAICHI! TAICHI! TAICHI!”
“YAMATO! YAMATO! YAMATO!”
Saking gembiranya, mereka melompat-lompat tinggi sambil
terus-terusan memanggil nama partner mereka,
yang telah mereka tunggu sejak lahir
ke dunia ini. Ketika sebuah kekuatan yang tak terlihat memisahkan dan mengirim
anak-anak itu ke tujuh arah yang berbeda, tiap-tiap dari mereka dengan segera berpecar untuk menjemput partner mereka masing-masing.
***
Dengan bunyi ‘Gedebuk’, Yamato
mendarat di atas tanah.
“Ow!” ia berteriak secara reflek,
tapi ternyata, ia tak terlalu merasa kesakitan. Merasa bingung karena tak
mendapati rasa sakit seperti yang ia perkirakan sebelumnya, Yamato menatap
langit yang ada di atasnya.
Dia yakin bahwa dirinya baru saja
jatuh dari atas sana, di dekat stratosfir. Apa dia berhalusinasi? Ketika
tubuhnya berputar-putar di udara saat terjatuh, ia pikir ia melihat sesuatu
yang tampak seperti pulau di bawah…
“Ini aneh.” Gumam Yamato, kepalanya
masih mendongak ke atas ketika ia berdiri.
Setelah sekilas mengamati area yang
ada di sekelilingnya, ia paham dirinya sedang berada di dalam hutan. Untuk
sesaat ia berpikir bahwa dirinya saat ini sedang berada di suatu tempat di
dekat area perkemahan, namun kelembaban udara yang ia rasakan dengan cepat
mengubah pikirannya. Kalau memang tempat ini ada di sekitar area perkemahan,
seharusnya cuacanya terasa lebih dingin…
Bagaimanapun, masih ada urusan yang
lebih penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
“Hey, Takeru!” Yamato memanggil nama
adiknya. Ketika ia tak mendapat respon, ia mencoba untuk memanggil lagi.
“Takeru?”
Sambil berputar ke segala arah, ia
memanggil nama yang sama lagi dan lagi. Tapi suara Takeru tak bisa didengar
sedikitpun.
Yamato bisa merasakan tubuhnya
menjadi sangat lemas. Kalau ada sesuatu
yang buruk menimpa Takeru, apa yang harus aku…?
“Takeru! Takeru!!”
Dengan penuh kebingungan, Yamato
terus meneriakkan nama adiknya lagi dan lagi. Wajah sang ibu ketika ia harus
berpisah dengan Takeru muncul dalam pikiran Yamato.
“Takeru! Dimana kau, Takeru?!”
Kedua mata Yamato terasa mendidih,
dan tampak berkaca-kaca. Dadanya pun terasa sangat sesak, disebabkan oleh
kekhawatiran akan adiknya yang hilang. Jika ia tak bisa menemukan Takeru…
Pada saat itu ia mendengar suara
seperti orang yang malu-malu berkata, “Yama… to?”
“Siapa disana?” Terkejut, ia
membalas suara itu sambil menghentikan langkahnya.
Sekalipun ia tak bisa melihat
seorangpun di sekitar, ada sebuah boneka bundar berwarna kemerah-merahan dengan
sebuah tanduk di kepalanya jatuh tepat di samping dirinya. Yamato tak yakin
bagaimana caranya, tapi boneka itu mengedipkan matanya, dan –
“Kau Yamato… iya kan?”
- mulut boneka itu bergerak
mengikuti suara yang muncul, layaknya makhluk hidup sungguhan.
“Eh…?”
Yamato tak mengerti sedikitpun apa
yang sebenarnya sedang terjadi, tapi ia masih cukup waras untuk tak tertipu
oleh sebuah boneka yang bisa berbicara.
Mengamati daerah sekeliling, Yamato
berkata, “Siapa kau? Keluarlah!”
Dan saat itulah, layaknya ingin
mempertegas kehadirannya, boneka bundar itu melompat-lompat.
“Itu aku, Yamato! Tsunomon! Aku
sudah menunggumu untuk waktu yang sangat lama!”
Mulut Yamato menganga. Dan terus
begitu untuk beberapa saat.
Tsunomon berkata. “Kau mencari
Takeru, kan? Aku akan membawamu padanya! Aku yakin Tokomon sudah menemukan
Takeru sekarang.”
***
Tubuh Sora menjadi sangat kaku. Layaknya
melihat hewan aneh berwarna pink dengan hiasan bunga berwarna biru di kepalanya
belum cukup untuk membuat Sora merasa takut, hewan itu bahkan juga bisa
berbicara.
“… … …”
Sora berpikir untuk berteriak minta
tolong, tapi akan bahaya jadinya bila teriakannya akan membuat makhluk yang ada
di depannya itu menyerang dirinya.
Hewan itu berbicara sekali lagi.
“Aku sudah sangat lama, lama, lama sekali menunggumu, Sora!” ucapnya dengan
gembira. Kata-kata yang ia keluarkan juga sangat jelas dan bisa dipahami. “Aku
sangat bersyukur, akhirnya aku bisa bertemu denganmu!”
Makhluk itu menggoyang-goyangkan
banyak tonjolan yang ada di bawah kepalanya (Sora tak mengerti apakah benjolan
itu kaki atau tentakel) untuk mendekati Sora, dan Sora pun segera mundur satu
langkah.
“J-jangan dekati aku!” teriak Sora
dengan histeris, dengan suara yang sangat berbeda dari suara yang biasa ia
keluarkan.
Mendengar kata-kata itu, bunga di
kepala hewan itu menjadi layu, dan hewan itu pun berkata dengan sedih, “Sora…
apa kau membenciku?”
“B-bukannya aku membencimu, t-tapi,”
Sora tergagap-gagap dengan penuh ketakutan sambil tetap menjaga jaraknya,
“Sebenarnya kamu itu apa?!”
“Aku Pyocomon. Kan aku tadi sudah
bilang.”
“Bukan, yang aku maksud, Pyocomon itu apa?!”
“Pyocomon itu Pyocomon,” hewan itu
menjawab dengan lugu, “Sama seperti Sora adalah Sora.”
Menatap Sora dengan mata menengadah,
hewan itu seperti bayi yang lapar akan kasih sayang dari orang tuanya. Hal itu
membuat Sora merasa tak nyaman. Sekalipun ia ingin menolaknya dengan keras,
tatapan hewan itu, mampu memancing naluri keibuan yang selama ini tak pernah
ditunjukkan oleh Sora.
Setelah menggigit bibirnya beberapa
saat karena kegelisahan yang ia rasakan, Sora kemudian menarik nafas
dalam-dalam.
“Oke, baiklah,” ucapnya pasrah.
Kasih sayang yang bisa Sora rasakan terpancar dari kedua mata Pyocomon yang
berwarna biru cerah itu menghilangkan kekhawatiran yang ada di dalam hatinya.
“Paling tidak… satu hal disini yang aku tahu secara pasti, namamu adalah
Pyocomon.”
***
Sambil mengusap-usap sebuah daun
dengan jari-jarinya, Koushiro lagi-lagi bergumam “Misterius sekali.”
“Ini bukan daun asli… rasanya sama
seperti rumput plastik berwarna hijau yang ada di kotak bento*, yang biasanya
di jual di toko-toko,” ia mengamati
hal-hal yang ada di sekelilingnya. “Namun, aku cukup terkesan melihat sesuatu
yang mutakhir seperti ini.”
(*kotak makan yang ada banyak di
jepang)
Koushiro sedang berada di sebuah
hutan yang cukup luas. Ranting-ranting dari semua pohon yang ada di hutan ini
ditempeli banyak dedaunan, dan sekalipun itu bukanlah hal yang mustahil untuk
dilakukan, pasti butuh usaha besar untuk mereplika semua hal yang ada, dan
membuat hutan ini tampak begitu nyata. Bahkan orang-orang yang bukan ahlinya
pun bakal setuju dengan Koushiro, bahwa akan jauh lebih murah untuk menanam
pohon sungguhan, ketimbang memasang replika sebanyak ini.
Dan bukan hanya dedaunan yang di
replika. Kerikil-kerikil di tanah tampak seperti gula batu berwarna abu-abu,
dan bahkan tanah yang keras di bawah kakinya terlihat seperti terbuat dari
karamel berwarna gelap.
“Jadi, biar aku bertanya lagi…” ucap
Koushiro kepada sebuah makhluk (yang sepertinya di buat dengan rumit) yang ada
di sampingnya. Makhluk itu tak pernah sekalipun berhenti mengikuti Koushiro
sejak mereka bertemu. “Kau bilang tempat ini bernama File Island?”
“Itu benar.” Makhluk yang menyebut
dirinya Motimon itu (yang bagian dalam tubuhnya kemungkinan besar terbuat dari
pemancar yang sangat canggih) menegapkan dadanya dan menjawab dengan bangga.
“Menurutku, taman hiburan ini
benar-benar dibuat dengan sangat bagus.”
“Um… Koushiro-han? Apa itu taman
hiburan?”
“Kau tak tahu?”
“Nggak.”
Mungkin tanggal pembukaan taman
hiburan ini masih jauh, pikir Koushiro, dan orang yang berbicara melalui mesin
ini (yang cara bicaranya jelas seperti orang yang berasal dari daerah Kansai*)
berlagak bodoh.
(*logat bicaranya kental dengan
nuansa daerah, klo pernah liat animenya pasti ngerti kyk gimana)
Itulah kenapa Koushiro bisa berkata,
“Hmm, lupakan saja,” dengan senyum ramah.
“Omong-omong, Koushiro-han. Semuanya
sudah menunggu, jadi ayo kita segera kembali berkumpul dengan mereka.”
Ketika ia menyentuh tubuh Motimon
yang bulat, rasanya seperti menyentuh karet. Mungkin tubuh Motimon terbuat dari
karet busa yang biasa digunakan dalam film-film buatan Hollywood. Sekalipun hal
seperti itu butuh biaya yang tak sedikit, namun bagi orang-orang ini, yang
mampu membuat replika hutan yang sangat luas, pasti bukanlah masalah besar.
“Oke, aku mengerti. Bisakah kau
menuntunku kesana?”
“Oke!”
Makhluk itu tampak senang ketika
berjalan dengan cara menyeret tubuhnya. Koushiro menganggap di bawah tubuh
Motimon pasti ada roda yang tersembunyi.
***
Seumur hidupnya, Jyou bisa dengan
jujur bersumpah bahwa ia tak pernah menghadapi situasi yang sangat aneh dan tak
bisa dijelaskan seperti ini sebelumnya.
Seekor hewan aneh yang kelihatannya
seperti hasil percobaan gagal antara anjing laut dan kuda laut sedang
mengejarnya. Dengan suara jail, hewan itu meneriakkan, “Jyooou!” sembari
melayang di udara.
“Tunggu aku, Jyooou!”
Jyou meyakinkan dirinya sendiri
bahwa “Jyooou” adalah sejenis teriakan hewan yang mirip dengan “Gyaooo” atau
“Uwooo,” namun bagian “Tunggu aku” sudah pasti adalah bahasa Jepang. Mungkin
struktur dari pita suara hewan itu mirip dengan burung jalak atau beo. Tapi
meski begitu, bukannya cara bicara hewan ini sedikit terlalu lancar?!
Yang mana membawanya pada satu
kesimpulan —— Seekor monster?
Saat ia memikirkan itu, Jyou
berteriak, “Ini tak mungkin! Ini tak nyataaaa!!!”
Jadi, apa itu artinya ia sedang
bermimpi?
Tapi ketika mereka bertemu, hewan
itu langsung mengusap pipi Jyou dengan sesuatu yang sangat mirip dengan sebuah
sirip. Faktanya, itu memang sirip.
Sirip yang terasa licin, dan bau ikan segar yang keluar dari nafas hewan itu,
memberitahu Jyou bahwa, sudah pasti dan positif, dia tidak sedang bermimpi. Sekalipun memang sulit untuk dipercaya, apa
yang sedang terjadi sekarang adalah nyata.
“Kenapa kau lari?” teriak
entah-apa-itu-namanya yang sedang mengejar Jyou dari belakang. Keberadaan hewan
itu menghancurkan akal sehat yang di rawat Jyou dengan sangat hati-hati, selama
sebelas tahun hidupnya. Jyou hanya bisa lari pontang panting.
Yang pasti, ini adalah pertama
kalinya bagi Jyou untuk menggunakan seluruh tenaga yang ia miliki untuk lari
seperti ini. Jantungnya yang berdebar keras terasa seperti mau meledak. Jyou
sendiri merasa jantungnya akan benar-benar meledak bila ia terus lari seperti
ini.
Tunggu dulu, sekarang bukan waktunya
untuk berpikir hal yang aneh-aneh.
Jyou berteriak. “Tolong, aku
mohon!!! Pergilah!!! Tinggalkan aku sendiri!!!”
Suara yang ia keluarkan terdengar
sangat serak, dan sangat tak enak bila di dengar.
***
“Takeru!”
Dengan Tsunomon yang menunjukkan
jalan di antara pepohonan, Yamato berhasil menemukan Takeru.
“Ah, kakak!”
Takeru berlari ke arah kakaknya
dengan senang. Yamato mengamati wajah Takeru, barangkali ada tanda-tanda bahwa
ia habis menangis, tapi ternyata tak ada bekas air mata sedikitpun. Yamato
sebelumnya sangat yakin bahwa Takeru akan menangis non-stop bila ia tak berada
di dekat adiknya itu.
Di tangannya, Takeru memegang sebuah…
celengan? Bukan, katoributa* ? – sebuah benda dengan bentuk yang gemuk dan
lucu. Menyadari arah pandangan Yamato, Takeru menjawab, “Ah, kenalin kak, ini
Tokomon,” dan menyodorkan celengan itu ke hadapan Yamato.
(*barang jepang, cek gugel)
“Halo, Yamato!” celengan itu mengeluarkan
suara.
Ternyata itu bukan celengan. Sama
seperti Tsunomon yang telah membawanya kemari, Tokomon adalah makhluk hidup
yang juga bisa berbicara.
“Tokomon bilang kalau dia telah
menunggu kita untuk waktu yang sangat, sangat lama,” Takeru menjelaskan kepada
Yamato. Kemudian ia berbalik menghadap Tokomon dan berkata, “Iya kan?”
Tersenyum lebar, Tokomon menjawab
dengan penuh semangat. “Ya!”
Adik kecilnya yang satu ini ternyata
sudah bisa menerima kehadiran makhluk-makhluk yang aneh itu. Yamato hanya bisa
merasa bingung dan kagum melihat kemampuan Takeru untuk beradaptasi di
lingkungan yang baru. Mungkin karena Takeru masih kecil, kepercayaannya
terhadap Sinterklas dan Peri Gigi masih belum menghilang. Rupanya realita
perceraian orang tua mereka tak sanggup meracuni jiwa Takeru yang polos, dan
Yamato merasa senang adiknya masih memiliki kepolosan seperti itu.
“Tokomon bilang ada lagi
teman-temannya di sekitar sini,” ucap Takeru dengan semangat, “Ada Koromon, dan
Tanemon, dan Pukamon, dan Pyocomon, dan Motimon, dan siapa lagi… … … oh iya,
Tsunomon!”
“Tsunomon… itu aku,” ucap Tsunomon,
dengan pipi yang memerah.
“Oh, senang bertemu denganmu!”
Takeru menyapanya dengan sedikit membungkuk. “Aku Takeru Takaishi.”
Setelah bertukar sapa, Tsunomon
berteriak, “Ayo, kita pergi ke tempat yang lainnya!” dan kemudian pergi dengan
melompat cepat. Takeru berlari mengikutinya, sambil tetap membawa Tokomon
dengan kedua tangannya.
Dan Yamato hanya bisa terdiam, tak
bisa memahami situasi yang sedang terjadi.
Satu-satunya jawaban yang bisa ia
terima, dan cukup wajar baginya, ialah sekarang ia sedang bermimpi. Dia pasti
sedang bermimpi bahwa ia bersama Takeru tengah berpetualang di dunia fantasi
ini agar ia bisa sesaat melupakan masalah yang ada di kehidupan nyata. Kalau
memang begitu ceritanya, maka bukan ide buruk untuk mengikuti jalannya mimpi
ini untuk sementara waktu.
Senyuman muncul di bibir Yamato,
kemudian ia lari mengejar Takeru.
***
Ketika Taichi mendarat, ia pingsan
sambil tetap menggenggam erat sebuah benda kecil yang muncul dari dalam aurora.
Sekarang benda itu terus menerus mengeluarkan cahaya terang yang
berkedip-kedip.
“M-Mmm…”
Taichi akhirnya membuka matanya, namun
yang membuatnya sadar bukanlah cahaya yang muncul dari alat yang benda yang ia
genggam. Tepat di hadapan mukanya tampak sesuatu berwarna pink yang kelihatan seperti
bola rugby. Seseorang telah menggambar dua mata merah yang besar di bola itu,
dan entah bagaimana caranya, kedua mata itu bisa berkedip selagi menatap
Taichi. Di bagian bawah bola rugby itu tampak sobekan lebar yang menunjukkan sebuah
mulut yang memiliki taring-taring kecil dan tajam, dan mengeluarkan suara,
(*bola rugby, kyk bola American football,
di eyeshield 21)
“Taichi! Taichi!”
- bola rugby itu bicara.
Tubuh Taichi segera menjadi kaku.
“H-Hya!? A-Apa-apaan?!”
Makhluk itu mengerutkan matanya yang
bulat, kemudian menunjukkan senyuman lebar yang dipenuhi oleh gigi-gigi mungil
yang tajam, seperti membentuk ekspresi ^u^ , dengan senang berkata, “Taichi,
kau sudah sadar! Syukurlah!”
Dan kemudian makhluk itu mencoba
untuk melompat tepat ke arah wajah Taichi. Terkejut, Taichi meletakkan kedua
tangannya di depan tubuhnya untuk menghentikan makhluk itu, kemudian ia segera
berdiri.
“K-kau bisa bicara?! Bagaimana kau
bisa tahu namaku?! Kau itu apa?!” Rasa bingung bergejolak di dalam pikiran
Taichi, dan sebagai hasilnya, ia hanya bisa mengeluarkan pertanyaan beruntun.
Bola rugby berwarna pink itu
memperkenalkan dirinya. “Aku Koromon!”
“Koromon… tunggu sebentar, jadi kau
adalah Koromon karena bentukmu bulat dan kecil*?” tanya Taichi.
(*Korokoro, asal mula nama Koromon. Efek suara di jepang
untuk sesuatu yang kecil, bulat, dan menggelinding)
“Um…”
Koromon sendiri tak tahu darimana
namanya berasal, jadi dengan senang ia menjawab, “Aku tak terlalu mengerti…
pokoknya, aku sudah sangat lama menunggumu Taichi!”
Kemudian ia melompat ke arah Taichi
lagi.
Namun Taichi mengayunkan tubuhnya
untuk menghindari Koromon. “Apa yang kau maksud dengan kau telah menungguku?!”
Saat itu, rerumputan tinggi yang ada
di dekat Taichi bergemerisik, dan adik kelas yang dikenal Taichi melalui klub
mereka di sekolah, Koushiro, muncul dari dalamnya.
“Koushiro!” teriak Taichi dengan
lega.
Namun setelah melihat hewan dengan
tubuh lunak berwarna pink yang berjalan di samping kaki Koushiro, Taichi
berteriak, “A-ada makhluk seperti itu lagi! Apa sebenarnya makhluk-makhluk aneh
ini?!”
“Dia bilang dia adalah Digimon,”
jawab Koushiro sambil mengangkat kedua bahunya, tanda bahwa ia sendiri juga
merasa bingung. “Kelihatannya tempat ini bernama File Island. Apa kau pernah
mendengarnya sebelum ini?”
“File… Island?” Taichi tak pernah
mendengar itu sebelumnya. “Tunggu dulu, jadi ini adalah sebuah pulau?”
“Aku pikir begitu.”
“Hmmm…”
Sambil menopang dagunya dengan satu
tangan, Taichi berpikir, kemudian ia mendekati sebuah pohon yang kelihatannya
kuat dan memanjatnya dengan mudah, layaknya seekor kera. Setelah sampai di atas
ranting yang letaknya cukup tinggi, ia mengeluarkan teleskop kecil yang berada
di dalam kantung celana pendeknya untuk mengamati daerah sekeliling.
“Mari kita lihat…”
Di hadapannya, ia bisa melihat hutan
yang panjangnya hingga berkilo-kilometer. Apa yang ada di seberang hutan tak
bisa ia lihat dengan jelas. Di sebelah kiri tampak gunung terjal yang berwarna
putih, yang saking tingginya, sampai-sampai puncaknya diselimuti oleh awan-awan
yang tebal. Di sebelah kanan terbentang lautan berwarna biru cerah, yang
keindahannya bisa disetarakan dengan laut-laut yang biasa dipakai foto oleh
para model di sampul majalah.
“Kalau ada laut di sana, berarti
tempat ini memang sebuah pulau…”
Berpikiran bahwa ia harus menanyai
Koushiro tentang opini yang ia miliki, Taichi kembali memasukkan teleskop
kecilnya ke dalam saku celana dan melompat turun dari pohon.
Tanpa basa-basi ia berkata. “Aku
lihat ada laut, tapi bisa jadi itu adalah danau.”
“Tak peduli itu laut atau danau,”
ucap Koushiro. “Itu berarti kita tak sedang berada di Lembah Mikami.”
“Tapi masih ada Gunung Fuji kan?
Lihat gunung di sebelah sana?” ucap Taichi, sambil menunjuk ke arah puncak
gunung bergerigi yang berada di sebelah kirinya.
“Menurutku itu bukan Gunung Fuji,”
balas Koushiro sambil mendesah.
Di sebelahnya, Motimon dengan suara
yang penuh percaya diri berkata, “Gunung itu disebut Infinity Mountain.”
“Infinity Mountain?”
“Itu benar.”
Taichi dan Koushiro menatap satu
sama lain dengan ragu. Keduanya tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Ketika mereka sibuk memikirkan
situasi yang sedang terjadi, tak lama anak-anak yang lain mulai muncul dan
berkumpul di sekitar mereka. Tiap-tiap dari mereka ditemani oleh partner
Digimon yang memiliki bermacam-macam bentuk.
Sora dan Pyocomon.
Yamato dan Tsunomon.
Takeru dan Tokomon.
Dan, dengan teriakan pekik yang
menunjukkan kehadirannya,
“GYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH!”
Jyou muncul.
Ketika ia mengenali wajah-wajah
familiar yang sebelumnya ia temui di dalam kuil, Jyou menghela nafas lega.
Sayangnya, kelegaan itu langsung menghilang ketika pandangan matanya mampir ke
arah para monster yang ada di samping kaki anak-anak lain.
Wajah Jyou yang sudah pucat menjadi
kaku dan semakin pucat, sembari ia meratap, “… M-m-monsternya tambah banyak.”
Merasa kehilangan seluruh tenaga
yang ia miliki, Jyou terjatuh ke tanah. Inilah yang menyebabkan monster
mutasi-anjing laut-kuda laut yang mengejarnya berhasil menyusul Jyou.
Sambil menempel ke punggung Jyou
dengan gembira, dengan nafasnya yang bau ikan, monster itu berkata, “Aku
Pukamon! Salam kenal!”
Jyou menatap balik Pukamon dengan
bengong, rasanya seperti ia sedang melihat dunia yang ia huni hancur tepat di
hadapan matanya.
Setelah melihat sekeliling, Yamato
bertanya, “Apa semua sudah berkumpul? Seingatku ada satu orang lagi yang ikut
bersama kita di kuil.”
“Oh!” Jyou tersentak ketika ia
menyadari sesuatu. “Mimi-kun! Mimi Tachikawa-kun tak ada disini!”
***
Tanemon kesulitan menjawab
pertanyaan Mimi.
“Darimana aku datang?” gumamnya,
sambil memiringkan kepalanya yang bulat. “Tapi dari dulu aku selalu disini…”
Mimi tak percaya sedikitpun.
“Itu tak mungkin benar! Aku tahu apa
kau itu sebenarnya!” ia bersikeras. “Jadi… dari planet mana kamu datang?
Ayolah, beritahu aku!”
Mimi tak pernah percaya tentang UFO.
Subyek itu hampir tak pernah muncul dalam topik diskusi antara teman maupun
keluarganya. Namun ketika makhluk aneh ini tiba-tiba muncul di hadapannya, dan
ia menyadari bahwa ia tidak sedang bermimpi, bagaimana lagi dia bisa
menjelaskan fenomena ini? Makhluk berdaun ini pasti adalah alien yang datang
dari luar angkasa.
Maksudku, coba pikir, Mimi beralasan di dalam pikirannya. Alam
semesta itu tempat yang sangat luas. Alien ini mungkin tak datang dari planet
yang ada di sistem tata surya kita, tapi masuk akal juga kalau ternyata ada
banyak E.T. yang hidup di sekitar nebula yang ada di Awan Magelan.
“Aku selalu disini, untuk
menunggumu, Mimi…” ucap Tanemon kepada Mimi, layaknya ingin menarik perhatian.
Alien itu menggerak-gerakkan anggota tubuhnya dengan gelisah (atau paling
tidak, itu yang dipikirkan Mimi) sambil menatap Mimi dengan tampang penyesalan.
Apa artinya itu?
Alis Mimi yang tipis berkerut saat
ia berpikir. Apa mungkin ini bukan Bumi? Mungkin gelombang air yang muncul di
hadapan kuil itu sebenarnya adalah sebuah UFO? Mungkinkah para alien
memindahkan dirinya ke planet yang sangat mirip dengan Bumi, namun letaknya
milyaran tahun cahaya dari Bumi, dimana ia harus menghabiskan seluruh sisa
hidupnya disana?!
“Aku tak mau itu!” teriak Mimi
dengan suara nyaring. “Kalau itu benar, bawa aku pulang! Bawa aku pulang ke
tempat Papa dan Mama sekarang juga!”
Mimi sebenarnya adalah gadis yang
baik dan sopan. Cuma kadang-kadang, dia bakal bertindak menuruti logika yang ia
ciptakan di dalam pikirannya, tanpa mempedulikan apapun yang sebenarnya di
ucapkan oleh lawan bicaranya ketika sedang bercakap-cakap. Hal itu sering
membuat banyak orang – bahkan teman-temannya juga – yang tadinya sedang ngobrol
dengan Mimi menjadi sangat, sangat bingung, dan tak tahu bagaimana cara yang
tepat untuk melanjutkan percakapan mereka.
Dengan kata lain, Mimi bisa seketika
marah, menangis, atau tertawa, tanpa memandang topik apa yang sebenarnya mereka
bicarakan sebelumnya, dan orang yang menjadi lawan bicara Mimi pasti akan kebingungan
dan tak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Mimi.
Hal seperti itulah yang saat ini
sedang terjadi.
Di mata Tanemon, Mimi menjadi kacau
ketika ia menyebut bahwa ia telah menunggu Mimi, dan sekarang ia berpikir bahwa
kata-kata itulah yang membuat Mimi marah. Pemikiran itu membuatnya sedih,
karena Tanemon, lebih dari yang lain, ingin mendapat pengakuan dan apresiasi
dari Mimi.
Tanemon juga bukan tipe makhluk yang
terlalu mendalami pemikiran logika. Ketika Mimi berteriak, Tanemon tak begitu
mengerti kenapa, tapi ia merasa sangat sedih. Untuk mengekspresikan perasaan
itu, Tanemon menangis.
“Sekalipun kau memintaku untuk
melakukan itu, aku…” ucap Tanemon tersedu-sedu.
Heran melihat alien itu yang
tiba-tiba menangis, Mimi langsung terdiam. Mungkin alien dari Planet Tanemon
sebenarnya sangatlah baik, dan mereka hanya ingin berteman dengan penduduk
bumi. Sekalipun ia terpilih secara acak sebagai perwakilan dari Bumi, untuk
menyikapi penawaran mereka seperti ini adalah sebuah kesalahan. Konyol jadinya
kalau kesalahan kecil ini akan menyebabkan Bumi dan Planet Tanemon berperang
dengan satu sama lain, tapi Mimi tetap berpikiran bahwa membangun pertemanan
dengan alien itu adalah sesuatu yang dibutuhkan.
“Oh, jangan menangis. Tolong jangan
menangis,” dengan lemah lembut, Mimi meminta maaf kepada Tanemon, layaknya ia
sedang menenangkan anak kecil. “Aku minta maaf. Aku yang salah. Kau benar, aku
yakin kita berdua bisa jadi teman. Jadi, ayolah, keringkan air matamu.”
Menunjukkan senyum cantiknya yang
khas, yang sudah banyak menarik hati dari para murid laki-laki di sekolah, Mimi
menjulurkan tangannya ke arah Tanemon untuk berjabat tangan. Dengan pose
seperti ini, tak aneh rasanya bila di pundak Mimi tertempel lencana dengan
kalimat “Duta Besar Perdamaian Internasional.”
“… … … Oke.”
Tanemon berhenti menangis, tapi ia
bingung tentang bagaimana ia harus merespon tangan Mimi yang dijulurkan ke
arahnya. Meski tak yakin, ia menjulurkan satu daun yang ada di atas kepalanya
dan menyentuh tangan Mimi dengan malu-malu.
Dan peringatan pertemuan pertama antara Bumi dan Planet Tanemon telah
sukses! Pikir Mimi
sambil menghela nafas lega, ketika tiba-tiba – suara “vrrrrmmmm” yang keras
terdengar di atas kepala mereka.
Itu pasti sebuah UFO, pikir Mimi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar