Namaku adalah Zenith Greyrat.
Aku lahir di negeri suci Milis.
Milis adalah sebuah negara dengan sejarah yang panjang. Sangat cocok bila orang
mendeskripsikan negara itu sebagai negara yang indah namun kaku.
Aku lahir sebagai putri kedua dari
keluarga bangsawan di negeri itu.
Pada masa itu, aku tumbuh layaknya
bunga di dalam rumah kaca. Aku pikir bahwa semua hal yang aku lihat di
sekelilingku adalah seluruh dunia. Begitulah kebodohanku.
Meskipun agak aneh rasanya kalau aku
sendiri yang mengatakan ini, tapi aku merasa kalau aku adalah anak yang baik.
Tak pernah melawan permintaan dari
orang tuaku, dan di sekolah aku mendapat nilai yang sangat bagus.
Aku mengikuti semua ajaran gereja
Milis, dan aku tak memiliki kesulitan dalam mempelajari tata krama sosial.
Aku bahkan diberi
gelar 『Gadis muda panutan Milis』.
Orang tuaku juga pasti merasa bahwa aku adalah anak yang pantas untuk
dibanggakan.
Tapi aku terus tumbuh besar seperti itu. Suatu hari aku akan menjalani
pesta pernikahan yang sudah diatur.
Kemungkinan besar aku akan menikah dengan anak tertua dari suatu
keluarga bangsawan. Berjiwa adil, dengan harga diri tinggi, dan menganut
prinsip ajaran Milis secara absolut. Contoh terbaik dari bangsawan Milis. Aku
akan menikah dengan orang seperti itu. Melahirkan anak-anak. Dan aku akan
menjadi istri seorang bangsawan yang tak akan merasa malu kemanapun aku pergi,
dan namaku akan dilampirkan ke dalam daftar bangsawan negeri suci Milis.
Itulah hidupku. Sebuah [jalan] bagi putri bangsawan Milis.
Tapi aku tak melewati [jalan] itu.
Di hari ketika aku menjadi dewasa, saat umurku mencapai 15.
Aku bertengkar dengan orang tuaku. Aku memberontak terhadap orang tuaku,
dan pergi meninggalkan rumah.
Ada sebuah alasan kenapa aku membenci permintaan dari orang tuaku yang
sebelumnya selalu aku ikuti.
Aku merasa cemburu terhadap saudara perempuanku yang sikapnya lebih liar
dariku.
Dengan berbagai macam alasan, aku berbalik membelakangi [jalan] ku.
Sangat susah bagi bangsawan untuk melanjutkan hidup mereka bila mereka
meninggalkan [jalan] mereka.
Tapi untungnya aku mempelajari healing magic di sekolah bangsawan. Dan
aku berhasil mempelajarinya sampai tingkat intermediate.
Meskipun negeri suci Milis adalah negara yang sangat maju dalam hal
healing magic dan barrier magic, kebanyakan orang hanya akan mempelajari
healing magic sampai tingkat elementary saja. Jika seseorang mempelajari
healing magic sampai tingkat intermediate, orang itu bisa bekerja di rumah
sakit Milis. Karena itulah mereka yang memiliki tingkat intermediate sangat
digemari di sekolah.
Dan demikianlah, dengan sombongnya aku percaya bahwa hidupku akan
menjadi sangat bagus ketika aku berhasil mempelajari itu.
Aku terlalu naïf.
Aku yang tak tahu apapun segera di target oleh orang-orang jahat.
Mereka bilang padaku bahwa mereka [Membutuhkan healer], dan merekrutku
yang tak tahu apa-apa tentang harga pasar ke dalam party mereka. Tawaran mereka
jauh lebih rendah daripada healer tingkat elementary, tapi mereka tetap
bersikeras kalau mereka sudah membayar dengan harga yang lebih tinggi dari
biasanya.
Aku cukup bodoh karena mempercayai ketulusan mereka yang dangkal,
meskipun sebenarnya ada banyak orang baik di dunia ini.
Kalau aku mengikuti mereka, aku akan diminta untuk melakukan hal-hal
yang jauh lebih parah. Digunakan sebagai perisai ketika melawan magical creature, atau harus menggunakan
sihir sampai aku pingsan. Dan bahkan mungkin aku akan diminta untuk menyerahkan
tubuhku kepada mereka.
Dan orang yang mencegah terjadinya itu semua adalah seorang pendekar
muda, Paul Greyrat.
Setelah menghajar orang-orang jahat itu, dia secara paksa membawaku ke
kelompoknya sendiri.
Kalau bukan karena anggota kelompok Paul, Elinalize, yang memberikan
penjelasan yang detil kepadaku, aku pasti akan mengira kalau Paul adalah orang
yang jahat.
Bagaimanapun juga, beginilah pertemuanku dengan Paul.
Pada mulanya, aku membenci Paul.
Sudah jelas dia adalah mantan bangsawan Asura, tapi gaya bicaranya
seperti preman. Sering melanggar janji, dan dengan mudah bersikap gegabah.
Serakah, memandang rendah diriku, dan suka memegang bokong orang lain, dan juga
sama sekali tak menyembunyikan pikiran-pikiran mesum yang ada di otaknya.
Tapi aku tahu, dia bukanlah orang jahat.
Meskipun dia memandang rendah diriku dan mengejekku karena tak tahu
bagaimana cara kerja dunia, dia selalu bilang kalau tak ada pilihan lain, dan
selalu membantuku.
Sifat Paul benar-benar bertolak balik dengan sifatku, tetapi dia itu
handal, bisa dipercaya, dan sebenarnya juga lumayan tampan.
Tak butuh waktu lama
sebelum aku jatuh cinta padanya.
Tapi dia selalu
dikelilingi oleh wanita-wanita yang menarik, dan aku adalah pengikut ajarin
Milis.
Ajaran Milis memiliki
[Pasangan hanya boleh mencintai satu sama lain] sebagai doktrinnya.
Meskipun aku sudah
pergi meninggalkan rumah, aku dibesarkan dengan ajaran-ajaran seperti itu, dan
ajaran itu juga diajarkan di sekolah sebagai akal sehat, dan karena itulah,
ajaran-ajaran Milis sudah terukir jauh di dalam hatiku.
Kemudian di suatu
hari aku mengatakan ini.
[Kalau kamu tak tidur
dengan wanita lain lagi, kamu bisa tidur denganku.]
Dia menyetujui itu
sambil tersenyum.
Aku tahu dia bohong.
Tapi aku masih
berpikir kalau itu bukanlah masalah.
Kalau aku dibohongi,
aku akan benar-benar bisa membuang perasaan cintaku terhadapnya.
Tapi aku masih
terlalu bodoh. Terlalu ceroboh. Terlalu naïf.
Karena aku
benar-benar hamil setelah aku melakukan itu satu kali.
Aku tak tahu apa yang
harus kulakukan. Aku merasa sangat gelisah.
Aku sama sekali tak
mengira kalau Paul akan benar-benar bertanggung jawab dan menikahiku.
Dan anak yang aku
lahirkan,
Rudeus Greyrat.
-------------Rudi.
***
Rudeus sedang duduk
di samping ayunan tempat adik-adiknya berada.
Ekspresinya sangat
serius.
Wajahnya
mengingatkanku terhadap bayangan Paul. Bibirnya tertutup rapat, dan
pandangannya terus berpaling antara Norn dan Aisha.
[Ah-, Ah-----!]
Di saat Norn
menggumam, ekspresi Rudeus menjadi tegang.
Dan di saat
berikutnya.
[Burururu.]
Rudeus menjulurkan
lidahnya dan membuat wajah lucu.
[Yaa, waa, ha, ha!]
Norn tersenyum senang
melihat ekspresi lucunya.
Rudeus mengangguk
puas melihat senyuman Norn, dan kembali menunjukkan ekspresi serius.
[Wuuu, ah!]
Kali ini Aisha lah
yang bicara.
Dan Rudeus segera
bergerak ke sampingnya.
[Arbububu.]
Rudeus meremas
wajahnya dan melakukan sesuatu yang aneh.
[Gyaa--- Ah, ah.]
Dan Aisha juga
tersenyum senang.
Rudeus menunjukkan
senyuman yang sama dengan senyum yang ia tunjukkan kepada Norn.
Rudeus terus
mengulangi tindakannya yang barusan.
[Haha……]
Aku tertawa kecil
disaat aku melihat senyuman Rudeus.
Itu karena Rudeus tak
banyak tersenyum.
Dia selalu kelihatan
seperti tak puas akan sesuatu. Entah itu mempelajari sihir atau ilmu pedang,
dia selalu melakukan sesuatu dengan ekspresi serius.
Dia bahkan tak pernah
tersenyum di hadapan orang tuanya.
Sekalipun ia
tersenyum, senyuman itu hanya dibuat-buat.
Tapi dia menunjukkan
ekspresi itu kepada adik-adiknya, dan tersenyum puas setelah melihat
adik-adiknya tersenyum.
Aku merasa senang
hanya dengan melihatnya.
Sangat berbeda dari
sebelumnya.
[Phew……]
Aku menghela nafas
saat aku memikirkan Rudeus di saat dia masih lebih muda dari sekarang.
Aku sangat gembira
ketika aku melihat bakat sihir yang dimiliki Rudeus, namun setelah beberapa
waktu berlalu, aku mulai curiga, apakah Rudeus memandang rendah kedua orang
tuanya, dan tak menyayangi mereka.
Karena Rudeus sama
sekali tak dekat denganku.
[…… Tapi itu tidak
benar.]
Apa yang mengubah
pikiranku adalah sikap yang ia tunjukkan di saat aku dan Lilia hamil.
Lilia hamil, dan Paul
mengakui perbuatannya.
Pada saat itu aku
merasa dikhianati.
Dikhianati Paul.
Bahkan dikhianati Lilia.
Khususnya ketika Paul
melanggar janjinya. Kemarahanku hampir membuatku serasa ingin meledak. Kalau
saja aku gagal menahan diriku meskipun hanya untuk satu detik saja, aku pasti
akan berteriak dan mengusir Lilia, atau mungkin saja aku yang akan pergi
meninggalkan mereka.
Sebelum pernikahan,
aku berpikiran kalau Paul berbohong kepadaku meskipun hanya sekali, aku akan
membuang perasaanku dan pergi meninggalkannya.
Aku sudah lupa akan
itu, tapi pemikiran itu terus tinggal di dalam benakku.
Tekanan batin yang
aku terima sungguh luar biasa besarnya, sampai-sampai aku memiliki niat untuk
menghancurkan hubungan rumah tangga ini.
Tapi Rudeus menepis
pemikiranku.
Dia bertindak
layaknya anak kecil dan membereskan situasi itu dengan rapi.
Meskipun apa yang dia
lakukan sebenarnya tak bisa dianggap benar.
Sekalipun aku
mendasarkan situasi ini kepada penjelasan Rudeus, aku masih tetap tak bisa
memaafkan Paul.
Tapi aku bisa melihat
kebenaran yang ada di dalam hati Rudeus ketika mendengar penjelasannya.
[Aku merasa tak
nyaman kalau hubungan keluarga kami runtuh.]
Saat aku menyadari
itu, aku kembali berpikir.
Anak ini memelihara
keluarganya dengan caranya sendiri.
Ketika aku memikirkan
itu, rasa curigaku tentang apakah Rudeus menyayangi keluarganya benar-benar
menghilang.
Dan pada waktu yang
sama, aku dengan mudah mampu memaafkan Paul dan Lilia.
Kalau Rudeus tak ada
di sana, situasinya tak akan berakhir seperti itu.
[Hm, Norn-chan
benar-benar manis, kamu pasti akan jadi secantik ibu. Kalau kamu besar nanti,
yuk kita mandi bareng-bareng.]
Rudeus menggenggam
tangan kecil Norn untuk mengelusnya.
Rudeus yang biasanya
selalu serius, sekarang sedang menjilat adiknya dengan sikap kekanak-kanakan.
Itu benar-benar -----
(Terlalu handal……)
Aku menganggap Rudeus
itu menakjubkan. Tapi belakangan ini, dia juga tampak sangat bisa diandalkan.
Situasinya
benar-benar sangat melelahkan ketika Norn dan Aisha lahir.
Kedua gadis itu
menangis siang dan malam, dan setelah memberi mereka makan, mereka akan muntah.
Ketika kami membersihkan tubuh mereka di dalam bak air, mereka akan buang air
besar di sana.
Meskipun Lilia bilang
kalau ini adalah hal yang wajar, faktanya aku tak bisa tidur di malam hari.
Tapi Rudeus telah
melakukan banyak hal untuk adik-adiknya.
Caranya merawat
adiknya kelihatan sangat terampil.
Rasanya dia sudah
pernah melakukan itu sebelumnya.
Tak mungkin dia masih
mengingat bagaimana dia di rawat saat dia masih bayi. Dia pasti melihat
bagaimana Lilia melakukan itu, dan menirunya.
Rudeus memang hebat
seperti apa yang aku harapkan.
Meskipun melihat
dirinya merawat adik-adiknya lebih bagus ketimbang orang tuanya ini membuatku
merasa tak puas, tapi sejujurnya itu adalah bantuan besar.
Aku tak pernah
melihat atau mendengar ada anak yang bisa diandalkan seperti Rudeus, yang bisa
merawat adik-adiknya yang baru saja lahir.
Melihat Rudeus, aku
jadi ingat dengan saudara laki-laki ku di negeri suci Milis. Dia juga sama
seriusnya seperti Rudeus. Suka belajar dan berbakat, dan dipuji oleh ayah
sebagai contoh terbaik bagi para bangsawan, tapi dia bersikap terlalu dingin
terhadap keluarganya, dan tak menganggap saudari-saudarinya.
Meskipun dia itu
impresif sebagai seorang bangsawan, tapi aku tak bisa menghormatinya sebagai
kakakku.
Tapi Rudeus pasti tak
akan menjadi seperti itu.
Dia pasti akan
menjadi kakak yang dihormati oleh adik-adiknya.
Faktanya. Dia bahkan
sudah merencanakan itu. Ketika dia sedang mengawasi adik-adiknya bersama Paul,
dia mengumumkan [Tujuanku adalah untuk menjadi kakak yang bisa dihormati.]
Aku tak sabar ingin
melihat bagaimana jadinya kalau Rudeus, Norn, dan Aisha kalau sudah besar
nanti.
[Ah! Wahhh!]
Norn mulai menangis
saat aku memikirkan itu.
Tubuh Rudeus sedikit
gemetar, dan ia kembali membuat wajah lucu untuk Norn.
[Wah! Wah!]
Tapi Norn tak
berhenti menangis.
Rudeus menyentuh
popoknya untuk memeriksa apakah dia mengompol, menggendongnya, dan melihat punggung
Norn, barangkali ada yang gatal, sementara Norn sendiri masih menangis.
Kalau itu aku, aku
pasti akan memanggil Lilia untuk membantuku. Kemudian aku ingat kalau Lilia
sedang keluar untuk belanja. Aku mulai panik.
Tapi Rudeus sama
sekali tak panik.
Dia mengeliminasi
semua alasan yang ada, menepuk tangannya, dan memberitahuku:
[Ibu, sudah waktunya
untuk minum susu.]
Aku menyadari waktu
ketika dia mengatakan itu.
Melihat Rudeus
bermain dengan adik-adiknya benar-benar membuat waktu berjalan dengan cepat.
[Baik, baik.]
[Ini. Duduklah.]
Aku duduk di kursi
yang telah ditunjuk oleh Rudeus.
Aku menyingkapkan
dadaku sambil menggendong Norn yang masih menangis.
Seperti yang
diprediksi oleh Rudeus, Norn merasa lapar, dan ia segera menghisap ASI ku
dengan nikmat.
Tiap kali aku
menyusuinya, naluri keibuanku mulai meningkat.
[……Hm?]
Tiba-tiba, aku
menyadari tatapan Rudeus.
Tiap kali aku
menyusui Norn, Rudeus selalu menatap buah dadaku.
Dan tatapan itu bukan
seperti tatapan yang dimiliki oleh anak berumur 7 tahun, tapi tatapan yang
penuh dengan keinginan mesum.
Kalau kau meletakkan
Paul di samping Rudeus, kau akan menyadari bahwa mereka berdua mempunyai
tatapan yang benar-benar mirip. Itu membuatku merasa terhibur, tapi saat aku
berpikir kalau Rudeus sudah menjadi seperti itu di saat umurnya baru segini,
aku merasa gelisah akan masa depan nanti. Apa dia akan menjadi seperti Paul,
dan bermain-main dengan banyak wanita, sampai mereka tersakiti?
[Ada apa Rudi? Apa
kamu juga mau?]
[EH!]
Aku menggodanya, dan
Rudeus sepertinya kembali sadar dan memalingkan pandangannya.
Kemudian, dengan
wajah yang merah karena malu, dia mencari-cari alasan untuk menjelaskan
dirinya:
[Bukan, aku cuma
berpikir kalau Norn itu minumnya banyak ya.]
[Haha.]
Aku tak bisa menahan
tawaku ketika dia menunjukkan sikap lucu seperti itu.
[Kamu gak boleh lho,
ini punya Norn. Rudi kan sudah minum banyak saat kamu masih kecil, jadi kamu
harus sabar.]
[…… Tentu saja, ibu.]
Meskipun dia
mengatakan itu, ekspresi wajahnya menunjukkan kalau dia merasa menyesal.
Rudi yang seperti itu
sangat jarang terlihat. Itu membuatku ingin menggodanya.
Biarkan aku
menggodanya sedikit lagi.
[Kalau kamu
benar-benar kepingin, kamu bisa tunggu sampai kamu menikah dan minta sama
istrimu.]
[Ya. Aku akan mencoba
untuk memintanya.]
Uh oh. Aku pikir dia
akan marah dan bercekcok denganku, tapi sepertinya dia mendapatkan pencerahan
dan menjawab godaanku.
Dia sadar kalau dia
sedang digoda?
Meskipun itu sedikit
mengecewakan buatku, tapi ini memang cocok dengan sifat yang ia miliki.
[…… Kamu tak boleh
memaksanya ya?]
[Aku tahu.]
Jawaban yang serius
ini membuatku merasa sedikit kesepian.
[Gerp.]
Norn bersendawa
setelah ia kenyang, dan aku meletakkannya kembali ke dalam ayunan.
Aku menggunakan kain
untuk mengusap dadaku, dan Rudeus kembali menatap buah dadaku lagi.
Hm. Sepertinya orang
yang akan menjadi istri anak ini akan mengalami masa-masa sulit.
Kandidat terkuatnya
sih Sylphy, tapi anak itu sangat menurut terhadap Rudi. Sepertinya meskipun dia
tak berkehendak, dia tak akan menolak permintaan Rudi……
Baiklah.
Aku akan memberi
pelajaran kepada Rudeus ketika waktunya tiba.
Sebagai seorang ibu.
Paul hanya
mengajarinya cara untuk menguasai gadis-gadis. Aku akan mengajarinya hal-hal
yang akan terjadi setelah itu.
[Guu.]
Setelah Norn kenyang,
wajahnya tampak begitu puas, dan tak lama ia mulai menguap.
Sepertinya dia merasa
capek.
[Minum yang banyak,
tidur yang banyak. Tumbuhlah dengan cepat, oke?]
Aku membelai kepala
Norn sambil mengatakan itu kepadanya.
[Ah! Waaa!]
Rudeus melakukan hal
yang sama seperti yang ia lakukan kepada Norn terhadap Aisha, menggendongnya,
memeriksa popoknya, dan memastikan kalau tak ada bagian tubuh yang gatal atau
tergigit oleh serangga……
Pada akhirnya, dia
menggendong Aisha dan menatapku dengan ekspresi gelisah.
Rudeus jarang sekali
menunjukkan ekspresi seperti itu.
Meskipun melihatnya
menunjukkan berbagai ekspresi yang berbeda membuatku senang, aku tak
benar-benar ingin melihatnya semuram itu.
[Ada apa?]
[Itu, anu. Ibu. Hari
ini, Lilia lumayan lama.]
[Benar juga.]
Biasanya pada jam
segini dia sudah kembali dari belanja.
Apa ada sesuatu yang
terjadi?
…… Tidak. Ada
kelompok pedagang yang datang dari kota Roa. Dia sudah bilang kalau dia akan
berbelanja lebih banyak dari biasanya, jadi dia akan menghabiskan lebih banyak
waktu hari ini.
[Anu, soal Aisha.]
[Ya?]
[Dia mungkin lapar.]
[Oh begitu.]
Ketika aku
pikir-pikir lagi, karena Aisha dan Norn minum susu pada waktu yang sama, tentu
dia juga akan merasa lapar pada waktu yang sama pula.
Biasanya, aku yang
akan menyusui Norn, sedangkan Lilia menyusui Aisha.
Aku menyadari
penyebab kegelisahan Rudi sekarang.
Rudi menggunakan
ekspresi itu dan berkata dengan ragu.
[Soal itu, bu, aku
tak yakin kapan Lilia akan kembali. Mungkin tak apa kalau kita membiarkan Aisha
untuk menunggu sebentar, tapi kalau Aisha terus menangis, Norn juga akan ikut
menangis. Itu……]
Aku adalah pengikut
ajaran Milis yang setia.
Dan karena itulah,
aku menyalahkan Lilia karena membuat Paul melanggar janji “satu pria, satu
wanita”. Aku tahu mereka bukanlah pengikut ajaran Milis, tapi aku tak mau
membelokkan pikiranku.
Rudi pasti menyadari
itu.
Apakah dia akan
membuat ibunya merasa sedih karena kata-kata yang ia ucapkan.
Apakah ibunya akan melakukan
hal-hal yang buruk kepada adiknya.
Dia pasti terbebani
dengan perasaan seperti itu.
Bagi Rudi. Tak peduli
apakah itu Norn, Aisha, atau aku. Semuanya adalah keluarga.
Dan……, karena
situasinya sudah menjadi seperti ini, aku harus melakukannya.
Tapi, apa benar itu
baik-baik saja?
Akankah aku merasa
tak nyaman ketika aku menyusui Aisha?
Dan kemudian,
bagaimana kalau ekspresiku disadari oleh Rudi, apakah dia akan membenciku, atau
memandang rendah diriku?
[Sheesh. Apa yang kau
katakan? Sini, cepat bawa Aisha kesini.]
Aku mengusir rasa
ketakutanku, menggunakan nada suara terlembut yang bisa aku keluarkan, dan
berkata pada Rudi.
[Baik.]
Rudi menyerahkan
Aisha kepadaku dengan hati-hati.
Aku menggendong
Aisha, dan menyusuinya.
Jika Aisha tak mau menerimaku,
aku mungkin akan merasa sedih. Tapi Aisha tak peduli, dan meminum ASI ku dengan
gembira.
[……Phew.]
Aku menghela nafas
lega, dengan menggunakan volume yang tak biasa di dengar oleh Rudi.
Perasaan yang sama
ketika aku menyusui Norn muncul.
Naluri seorang ibu.
Sungguh tak bisa
dipercaya.
Kenapa aku berpikir
kalau aku tak akan mau menyusui Aisha?
Kenapa aku berpikir
kalau aku akan merasa tak nyaman ketika aku menyusuinya?
Kenapa aku pikir
kalau aku harus mentolerir itu?
Jawabannya sederhana.
Aku tahu itu.
Karena aku adalah
seorang ibu.
Pada akhirnya, tak
ada perbedaan sama sekali. Seorang pengikut Milis atau apapun itu.
[Sepertinya dia
merasa nyaman.]
[Itu karena susunya
ibu lezat.]
[Tolong jangan
memujiku seperti itu.]
Rudi sepertinya juga
merasa nyaman, melihat Aisha meminum ASI ku dengan nyaman dan santai.
Dia pasti berpikir
kalau ini juga merupakan tanggung jawabnya untuk melindungi adik-adiknya.
Itu benar-benar
mengagumkan.
Bukan bohong ketika
dia bilang kalau dia ingin menjadi kakak yang dihormati oleh adik-adiknya.
[Itu bukan pujian.
Aku masih ingat rasanya.]
[Kamu serius?]
Aku tersenyum sembari
membelai kepala Aisha.
Setelah beberapa
saat, Aisha juga selesai minum susu, dan meninggalkan dadaku.
Aku meletakkannya
kembali ke dalam ayunan, dan dia mulai tidur nyenyak seperti Norn.
Rudi menggunakan
ekspresi yang lebih lembut dari biasanya untuk melihat aku dan Aisha.
[Rudi.]
[Ya, kenapa?]
[Boleh aku
menyentuhmu?]
[…… Sebenarnya tak
perlu untuk meminta ijinku. Sentuh saja aku kalau memang mau.]
Rudi duduk di
sampingku dan mendongakkan kepalanya ke arahku.
Aku membelai
kepalanya dengan lembut.
Rudi tak pernah
membuatku khawatir sejak dia lahir, jadi aku sama sekali tak merasa kalau
diriku sudah menjadi seorang ibu ketika dia tumbuh besar, tapi belakangan ini
rasanya berbeda.
Aku merasa dari dalam
hatiku kalau aku adalah ibu dari anak ini.
[………]
Aku tiba-tiba merasa hangat,
dan aku pun mencari arah darimana kehangatan itu datang.
Cahaya matahari musim
panas masuk melalui jendela.
Pemandangan ladang
gandum keemasan yang tak ada ujungnya terlihat di luar jendela.
Siang hari di musim
panas yang damai.
Aku benar-benar
merasa puas.
[Rasanya enak ya
kalau hidup kita bisa terus seperti ini.]
[Ya.]
Rudi setuju denganku.
Dia pasti juga merasa
tenang di saat-saat seperti ini.
Tapi apa yang
membuatku merasa bahagia adalah kehadiran Rudi.
Kalau bukan karena
Rudi, seorang pengikut ajaran Milis seperti diriku pasti akan meratapi fakta
bahwa aku telah menjadi istri dari seorang suami yang mempunyai dua istri, dan
akan meninggalkan rumah ini bersama dengan Norn, atau menyalahkan Aisha dan
Lilia.
Beruntung, ada Rudi
di sini.
Kalau dia bukanlah
anak yang pintar dan bijak, aku tak akan bisa mengalami masa-masa yang indah
seperti ini.
[Rudi.]
[Ada apa?]
[Terima kasih karena
telah lahir di dunia ini.]
Rudi menatapku dengan
bingung.
Kemudian, dengan
menggaruk kepalanya, dia berkata dengan malu-malu.
[Harusnya aku yang
berterima kasih pada ibu.]
Aku kembali tertawa saat
aku melihat sikap Rudi yang manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar